BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Meningkatnya kebutuhan dalam pendidikan, mendorong pemerintah Indonesia menyalurkan berbagai bantuan demi kelangsungan pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana bantuan operasional Sekolah (BOS) diperuntukkan bagi setiap sekolah tingkat dasar di Indonesia dengan tujuan meningkatkan beban biaya pendidikan demi tuntasnya wajib belajar sembilan tahun yang bermutu.
Namun kebijakan Dana BOS bukan berarti behentinya permsalahan pendidikan, masalah baru muncul terkait dengan penyelewengan dana BOS, dan ketidakefektifan pengelolan dana BOS, tujuan dari pemerintah sendiri baik, namun terkadang sistem yang ada menjadi bumerang dan menghadirkan masalah baru, selain itu pribadi dan budaya manusia Indonesia ikut berpengaruh terhadap penyelewengan dan ketidakefektifan pengelolaan dana BOS. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama semua elemen dalam mewujudkan efektifitas pengelolaan dana BOS.
Oleh karena itu, kami memilih untuk mengangkat masalah pengelolaan dana BOS serta permasalahannya, sehingga mudah-mudahan makalah kecil ini bisa memberikan gambaran bagi para pembaca terkait dengan pengelolaan dana BOS serta permaslahannya, solusi yang muncul bukan berarti solusi terbaik, ini hanyalah sedikit sumbangan pemikiran dari kami untuk perkembangan pendidikan di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini, kami menyusun bebrapa rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini, rumusan terseut diantaranya :
1. Apa pengertian akuntabilitas?
2. Apa pengertian transparansi?
3. Apa permasalah yang muncul dalam pengelolaan dana bos?
4. Apa penyebab dari timbulnya permasalahan tersebut?
5. Bagaimana akibat dari permasalahan tersebut?
6. Bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut?
C. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk :
1. Mengetahui pengertian akuntabilitas
2. Mengetahui pengertian transparansi
3. Mengetahui pengertian dan landasan-landasan umum program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
4. Agar dapat mengetahui bagaimana realisasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
5. Dapat memahami kondisi-kondisi dunia pendidikan khususnya di tingkat dasar.
6. Agar dapat mempelajari kasus-kasus yang terjadi di dunia pendidikan yang muncul di lapangan.
D. MANFAAT
Kami berharap makalah ini bisa memeberikan manfaat baik bagi penyusun dan juga pembaca pada umumnya, diantaranya :
1. Untuk menambah wawasan tentang program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
2. Dapat mempelajari kasus-kasus yang terjadi di dunia pendidikan khususnya mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
3. Dapat mengetahui penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN AKUNTABILITAS
Istilah akuntabilitas berasal dari istilah dalam bahasa Inggrisaccountability yang berarti pertanggungan jawab atau keadaan untuk dipertanggung jawabkan atau keadaan untuk dimintai pertanggung jawaban. Akuntabilitas (accountability) yaitu berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
Pengertian akuntabilitas ini memberikan suatu petunjuk sasaran pada hampir semua reformasi sektor publik dan mendorong pada munculnya tekanan untuk pelaku kunci yang terlibat untuk bertanggungjawab dan untuk menjamin kinerja pelayanan publik yang baik. Prinsip akuntabilitas adalah merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dimana dalam kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang terkait harus mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugasnya. Prinsip akuntabilitas terutama berkaitan erat dengan pertanggung jawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau program yang telah ditetapkan itu.
Pengertian akuntabilitas menurut Lawton dan Rose dapat dikatakan sebagai sebuah proses dimana seorang atau sekelompok orang yang diperlukan untuk membuat laporan aktivitas mereka dan dengan cara yang mereka sudah atau belum ketahui untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good corporate governance berkaitan dengan pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan hasil yang dicapai, sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab mengelola organisasi. Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris. Prinsip akuntabilitas menuntut 2 (dua) hal, yaitu :
a. Kemampuan menjawab dan
b. Konsekuensi.
Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah digunakan dan apa yang telah tercapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.
Aspek yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan penting dan dalam suasana yang transparan dan demokrasi serta kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Akuntabilitas, sebagai salah satu prasyarat dari penyelenggaraan negara yang baru, didasarkan pada konsep organisasi dalam manajemen, yang menyangkut :
1. Luas kewenangan dan rentang kendali (spand of control) organisasi.
2. Faktor-faktor yang dapat dikendalikan (controllable) pada level manajemen atau tingkat kekuasaan tertentu.
Pengendalian sebagai bagian penting dari masyarakat yang baik saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efesien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian pula sebaliknya. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggung jawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Sumber daya ini merupakan masukan bagi individu maupun unit organisasi yang seharusnya dapat diukur dan diidentifikasikan secara jelas. Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari karyawan organisasi sehingga tercapai kelancaran dan keterpautan dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
B. MACAM MACAM AKUNTABILITAS
Menurut Bruce Stone, O.P. Dwivedi, and Joseph G. Jabbra terdapat 8 jenis akuntabilitas umumnya berkaitan dengan moral, administratif, politik, manajerial, pasar, hukum dan peradilan, hubungan dengan konstituen dan professional. Akan tetapi disini hanya dua macam yang saya tuliskan. Diantaranya adalah:
a. Akuntabilitas Politik
Akuntabilitas politik adalah akuntabilitas administrasi publik dari lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatifKehakiman kepada publik. Dalam negara demokrasi, pemilu adalah mekanisme utama untuk mendisiplinkan pejabat publik akan tetapi hal ini saja tidak cukup dengan adanya pemisahan kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif dan yudikatif memang dapat membantu untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan yang hanya berkaitan pada check and balances pengaturan kewenangan. Checks and balances hanya bekerja dengan menciptakan pengaturan konflik kepentingan antara eksekutif dan legislatif, namun segala keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik masih memerlukan persetujuan kedua lembaga, dengan cara ini, kedua lembaga yang merupakan lembaga hasil pemilu dalam pengambilan keputusan-keputusan dalam hal kebijakan publik akan lebih pada merupakan hubungannya dengan konstituen pada keuntungan pemilu yang akan datang dibandingkan bila merupakan kebijakan yang sesungguhnya dari bagian kebijakan administrasi public.biaya yang harus dikeluarkan dalam kegiatan politik antara lain pemilu yang diperlukan dapat menjadikan anggota eksekutif dan legislatif atau para pejabat publik lainnya rentan terhadap praktik-praktik korupsi dalam pengambilan keputusan yang terdapat memungkinan akan lebih menuju kepada keuntungan kepentingan pribadi dengan cara mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas.
b. Akuntabilitas administrasi
Aturan dan norma internal serta beberapa komisi independen adalah mekanisme untuk menampung birokrasi dalam tanggung jawab administrasi pemerintah. Dalam kementerian atau pelayanan, pertama, perilaku dibatasi oleh aturan dan peraturan; kedua, pegawai negeri dalam hierarki bawahan bertanggung jawab kepada atasan. Dengan diikuti adanya unit pengawas independen guna memeriksa dan mempertanggung jawabkan, legitimasi komisi ini dibangun di atas kemerdekaan mereka agar dapat terhindar dari konflik kepentingan apapun. Selain dari pemeriksaan internal, terdapat pula beberapa unit pengawas yang bertugas untuk menerima keluhan dari masyarakat sebagai akuntabilitas kepada warga negara.
c. Transparansi Politik
Transparansi seperti yang digunakan dalam istilah politik berarti keterbukaan dan pertanggung-jawaban. Istilah ini adalah perpanjangan metafor dari arti yang digunakan di dalam ilmu Fisika: sebuah obyek transparan adalah obyek yang bisa dilihat tembus.
Aturan dan prosedur transparan biasanya diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung-jawab dan untuk memerangi korupsi. Bila rapatpemerintah dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa saja, bila undang-undang, aturan, dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat transparan dan akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk menyalahgunakannya untuk kepentingan sendiri.
C. PENGERTIAN TRANSPARANSI
Transparansi adalah prinsip menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat.
Pemerintah daerah seharusnya perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat. Instrumen dasar dari transparansi adalah peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan informasi, sedangkan instrumen pendukung adalah fasilitas database dan sarana informasi dan komunikasi dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan informasi yang ada di penyelenggara pemerintah, maupun prosedur pengaduan. Untuk itu adanya Perda Transparansi adalah sebagai produk hukum yang memberikan jaminan untuk mengatur tentang hak memperoleh akses dan penyebar luasan informasi kepada publik. Apalagi transparansi memang telah menjadi semacam suatu etika pergaulan internasional yang mesti ada untuk menjamin Pun, terselenggaranya sistem pemerintahan yang akuntabel dan transparan merupakan salah satu kunci perwujudan good governance. Di dalam sistem dimaksud tercakup beberapa prasyarat yang harus dipenuhi tatkala transparansi dan akuntabilitas menjadi barometer. Di antara prasyarat itu adalah jaminan bahwa segala peristiwa penting kegiatan pemerintah (kegiatan badan publik) terekam dengan baik dengan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat diikhtisarkan melalui proses informasi dimana kita bisa melihat segala yang terjadi dan terdapat di dalamnya. Dengan adanya transparansi pemerintahan yang ditunjang dengan payung hukumnya yang jelas maka akan menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, maka akan menjamin meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya dan akan dapat meminimalisir berkurangnya pelanggaran/penyimpangan dalam pengelolaan pemerintahan. Kalbar telah mempunyai Perda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalbar. Masalahnya, sekarang ada tidak political will dari pemerintah untuk segera efektif mengimplementasikan Perda Transparansi tersebut. Meski telah dibuat, tapi sekarang dapat kita lihat implementasinya masih jauh panggang dari api. Transparansi masih belum menjadi semangat, paradigma dan etika dalam pengelolaan pemerintahan.Perda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalbar terbit pada 30 Juni 2005 tersebut memuat sembilan bab dan 32 pasal. Peraturan tersebut memuat kewajiban badan publik untuk mengumumkan informasi secara aktif mengenai proses perencanaan pembangunan daerah termasuk APBD, mulai perencanaan, pembahasan, hingga penetapan, rencana tata ruang hingga penetapan, pelaksanaan kegiatan pembangunan, nama, struktur, tugas, dan fungsi badan publik terkait, prosedur dan tata cara untuk mendapatkan informasi publik pada badan publik; jadwal kegiatan badan publik. Hadirnya Perda Nomor 4 Tahun 3005 tentang Transparansi, hanya sekedar pelengkap dan penghibur agar dapat meredam suara-suara nyaring yangmendorong transparansi pemerintahan. Terlebih lagi, jangan-jangan hadirnya Perda tersebut, hanya sebagai bentuk justifikasi saja, bahwa pemerintahaan di Kalbar seakan-akan telah berniat baik untuk, dan telah transparan. Sederhananya, Pemprov memandang bahwa transparansi telah terlaksana ketika perdanya telah ada. Padahal, seperti yang kita ketahui, pola pikir yang terbangun di jajaran pengambilan kebijakan (Pemprov dan Legislatif), terbiasa membuat Perda, tapi gagal dalam implementasi. Kemudian, menanggapi bahwa eksekutif Pemerintah Provinsi seakan salah persepsi tentang implementasi Perda Transparansi, saya malah menduga bahwa eksekutif tidak mengerti dan memahami tentang Perda itu. Lebih lanjutnya, saya malah khawatir, jangan-jangan pihak eksekutif tidak paham atau awam tentang tata kelola pemerintahan yang baik seperti yang termaktub dalam semangat dan prinsip-prinsip good governance. Sehingga setiap pernyataannya yang muncul cenderung tidak menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang memahami dan mengerti tentang hal itu, serta mungkin tidak memiliki Pihak Parlemen, dalam hal ini sebagai pihak yang ikut membahas perda tersebut, harus berani fight, jangan seperti macan tak bertaring yang beraninya hanya mengaum di kejauhan, tapi mandul dan tak berani mengambil aksi yang lebih tegas terhadap implementasi perda ini.
Seringkali muncul tanggapan serius dari para wakil rakyat, sangat garang bahasanya untuk mendorong agar perda ini di implementasikan, tapi kok ternyata tak punya greget yang kuat yang dapat mendorong agar Pemprov serius mengimplementasikan Perda. Pertanyaan besarnya, what happen? Bisa jadi gerakan itu tidak terjadi secara massif di Parlemen, malah mungkin masih ada sebagian yang menganggap atau berpikiran bahwa Perda tersebut bukan sesuatu hal yang penting. Kalau sudah begini, setali tiga uang, sama saja antara Pemprov dan Parlemen, tidak memiliki sense terhadap Perda Transparansi ini. Padahal ketika studi banding dilakukan, antara lain studi banding terhadap pelaksanaan perda yang sama ke Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Bukankah sudah cukup menjadi bukti, bagaimana jalannya pemerintahan di sana yang cukup berhasil.
Sungguh disayangkan, ketika akan menggodok perda, berapa uang rakyat yang habis, baik untuk agenda rapat pembahasan maupun studi banding. Namun dua tahun berlalu ternyata tak efektif dilaksanakan. Dengan tidak di implementasikannya perda tersebut, Perda ini diharapkan mampu menciptakan sebuah pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai dengan semangat dan prinsip-prinsip good governance.
BAB III
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG DANA BOS
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan pengembangan lebih lajut dari Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Bidang Pendidikan, yang dilaksanakan pemerintah pada kurun 1998-2003, dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM yang dilaksanakan dalam kurun 2003-2005. BOS dimaksudkan sebagai subsidi biaya operasional sekolah kepada semua peserta didik wajib belajar, yang untuk tahun 2009 jumlahnya mencapai 26.866.992 siswa sekolah dasar, yang disalurkan melalui satuan pendidikan. Dengan Program BOS, satuan pendidikan diharapkan tidak lagi memungut biaya operasional sekolah kepada peserta didik, terutama mereka yang miskin.
Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun, sampai dengan saat ini masih banyak orang miskin yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu, hal ini disebabkan antara lain karena mahalnya biaya pendidikan. Disisi lain, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yang dikenal dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan pendidikan yang sederajat).
Kenaikan harga BBM beberapa tahun belakangan dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin. Hal tersebut dapat menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan biaya pendidikan.
Salah satu program di bidang pendidikan adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menyediakan bantuan bagi sekolah dengan tujuan membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan beban bagi siswa yang lain dalam rangka mendukung pencapaian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Melalui program ini, pemerintah pusat memberikan dana kepada sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP untuk membantu mengurangi beban biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orangtua siswa. BOS diberikan kepada sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Besarnya dana untuk tiap sekolah ditetapkan berdasarkan jumlah murid.
B. MEKANISME PENCAIRAN DANA BOS
Pengalokasian/pencairan dana BOS dilaksanakan sebagai berikut:
1. Tim Manajemen Pusat mengumpulkan data jumlah siswa tiap sekolah melalui Tim Manajemen BOS Provinsi, kemudian menetapkan alokasi dana BOS tiap provinsi.
2. Atas dasar data jumlah siswa tiap sekolah, Tim Manajemen BOS Pusat membuat alokasi dana BOS tiap provinsi yang dituangkan dalam DIPA provinsi.
3. Tim Manajemen BOS Provinsi dan Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota melakukan verifikasi ulang data jumlah siswa tiap sekolah sebagai dasar dalam menetapkan alokasi di tiap sekolah.
4. Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota menetapkan sekolah yang bersedia menerima BOS melalui Surat Keputusan (SK). SK penetapan sekolah yang menerima BOS ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dewan Pendidikan. SK yang telah ditandatangani dilampiri daftar nama sekolah dan besar dana bantuan yang diterima (Format BOS-02A dan Format BOS-02B). Sekolah yang bersedia menerima BOS harus menandatangani Surat Perjanjian Pemberian Bantuan (SPPB).
5. Tim Manajemen BOS Kab/Kota mengirimkan SK alokasi BOS dengan melampirkan daftar sekolah ke Tim Manajemen BOS Provinsi, tembusan ke Bank/Pos penyalur dana dan sekolah penerima BOS.
C. PENGGUNAAN DANA BOS
Penggunaan dana BOS di sekolah harus didasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama antara Tim Manajemen BOS Sekolah, Dewan Guru, dan Komite Sekolah yang harus didaftar sebagai salah satu sumber penerimaan dalam RKAS/RAPBS, di samping dana yang diperoleh dari Pemda atau sumber lain yang sah. Hasil kesepakatan penggunaan dana BOS (dan dana lainnya tersebut) harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk berita acara rapat yang dilampirkan tanda tangan seluruh peserta rapat yang hadir.
Dari seluruh dana BOS yang diterima oleh sekolah, sekolah wajib menggunakan sebagian dana tersebut untuk membeli buku teks pelajaran atau mengganti yang telah rusak. Buku yang harus dibeli untuk tingkat SD adalah buku mata pelajaran Pendidikan Agama, serta mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, sedangkan tingkat SMP adalah buku mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Adapun dana BOS selebihnya digunakan untuk membiayai kegiatan-kegitan berikut:
1. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, yaitu biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang, pembuatan spanduk sekolah gratis, serta kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut (misalnya untuk fotocopy, konsumsi panitia, dan uang lembur dalam rangka penerimaan siswa baru, dan lainnya yang relevan).
2. Pembelian buku referensi dan pengayaan untuk dikoleksi di perpustakaan (hanya bagi sekolah yang tidak menerima DAK).
3. Pembelian buku teks pelajaran lainnya (selain yang wajib dibeli) untuk dikoleksi di perpustakaan.
4. Pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, pemantapan persiapan ujian, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, unit kesehatan sekolah, dan sejenisnya (misalnya untuk honor jam mengajar tambahan di luar jam pelajaran, biaya transportasi dan akomodasi siswa/guru dalam rangka mengikuti lomba, fotocopy, membeli alat olahraga, alat kesenian, perlengkapan kegiatan ekstrakulikuler, dan biaya pendaftaran mengikuti lomba).
5. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah, dan laporan hasil belajar siswa (misalnya untuk fotocopy/penggandaan soal, honor koreksi ujian, dan honor guru dalam rangka penyusunan rapor siswa).
6. Pembelian bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil, spidol, kertas, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan koran/majalah pendidikan, minuman dan makanan ringan untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah, serta pengadaan suku cadang alat kantor.
7. Pembiayaan langganan daya dan jasa, yaitu listrik, air, telepon, internet, termasuk untuk pemasangan barujika sudah ada jaringan di sekitar sekolah. Khusus di sekolah yang tidak ada jaringan listrik, dan jika sekolah tersebut memerlukan listrik untuk proses belajar mengajar di sekolah, maka diperkenankan untuk membeli genset.
8. Pembiayaan perawatan sekolah, yaitu pengecetan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan mebeler, perbaikan sanitasi sekolah, perbaikan lantai ubin/keramik, dan perawatan fasilitas sekolah lainnya.
9. Pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer. Untuk sekolah SD diperbolehkan untuk membayar honor tenaga yang membantu administrasi BOS.
10. Pengembangan profesi guru seperti pelatihan, KKG/MGMP dan KKKS/MKKS. Khusus untuk sekolah yang memperoleh hibah/block grant pengembangan KKG/MGMP atau sejenisnya pada tahun anggaran yang sama tidak diperkenankan menggunakan dana BOS untuk peruntukan yang sama.
11. Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke sekolah. Jika dinilai lebih ekonomis, dapat juga untuk membeli alat transportasi sederhana yang akan menjadi barang inventaris sekolah (misalnya sepeda, perahu penyebrangan, dll).
12. Pembiayaan pengelolaan BOS seperti alat tulis kantor (ATK), penggandaan, surat-menyurat, insentif bagi bendahara dalam rangka penyusunan laporan BOS dan biaya transportasi dalam rangka mengambil dana BOS di Bank/PT Pos.
13. Pembelian komputer dekstop untuk kegiatan belajar siswa, maksimum 1 set untuk SD dan 2 set untuk SMP, pembelian 1 unit printer, serta kelengkapan komputer seperti hard disk, flash disk, CD/DVD, dan suku cadang komputer/printer.
14. Jika komponen 1 s.d 13 di atas telah terpenuhi pendanaannya dari BOS dan masih terdapat sisa dana, maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik, mebeler sekolah, dan peralatan untuk UKS. Bagi sekolah yang telah menerima DAK, tidak diperkenankan menggunakan dana BOS untuk peruntukan yang sama.
Penggunaan dana BOS untuk transportasi dan uang lelah bagi guru PNS diperbolehkan hanya dalam rangka penyelenggaraan suatu kegiatan sekolah selain kewajiban jam mengajar. Besaran atau satuan biaya untuk transportasi dan uang lelah guru PNS yang bertugas di luar jam mengajar tersebut harus mengikuti batas kewajaran. Pemerintah Daerah wajib mengeluarkan peraturan tentang batas kewajaran tersebut di daerah masing-masing dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi, faktor geografis dan faktor lainnya.
D. PERMASALAHAN PENGELOLAAN DANA BOS DAN SOLUSINYA
1. Deskripsi Masalah
Dijelaskan dalam UUD Negara RI pasal 31 ayat (2) bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pada akhirnya membawa konsekuensi alokasi belanja negara di bidang pendidikan sebesar 20% dari APBN. Dalam perkembangannya adalah, muncul kebijakan pemerintah dalam alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan harkat/martabat bangsa. Ditulis dalam Bab II pasal 3 yang berbunyi : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Pasal 34 ayat 2 juga menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Konsekuensi dari amanat Undang-undang tersebut adalah pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP), SMU serta satuan pendidikan lain yang sederajat.
Mulai pertengahan 2010, kemendiknas mulai menggunakan mekanisme baru penyaluran dana BOS. Dana BOS tidak lagi langsung ditransfer dari bendahara negara ke rekening sekolah, tetapi ditransfer ke kas APBD selanjutnya ke rekening sekolah.
Kemendiknas beralasan, mekanisme baru ini bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS. Dengan cara ini, diharapkan pengelolaan menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah, dan tak ada penyelewengan. Harus diakui, masalah utama dana BOS terletak pada lambatnya penyaluran dan pengelolaan di tingkat sekolah yang tidak transparan. Selama ini, keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor, seperti keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat pengantar pencairan dana oleh tim manajer BOS daerah.
Akibatnya, kepala sekolah harus mencari berbagai sumber pinjaman untuk mengatasi keterlambatan itu. Bahkan, ada yang meminjam kepada rentenir dengan bunga tinggi. Untuk menutupi biaya ini, kepsek memanipulasi surat pertanggungjawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim manajemen BOS daerah. Ini mudah karena kuitansi kosong dan stempel toko mudah didapat.
Kepsek memiliki berbagai kuitansi kosong dan stempel dari beragam toko. Kepsek dan bendahara sekolah dapat menyesuaikan bukti pembayaran sesuai dengan panduan dana BOS, seakan- akan tidak melanggar prosedur.
Tidaklah mengherankan apabila praktik curang dengan mudah terungkap oleh lembaga pemeriksa, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Ibarat berburu di kebun binatang, BPK dengan mudah membidik dan menangkap buruan. BPK dengan mudah menemukan penyelewengan dana BOS di sekolah.
BPK Perwakilan Jakarta, misalnya, menemukan indikasi penyelewengan pengelolaan dana sekolah, terutama dana BOS tahun 2007-2009, sebesar Rp 5,7 miliar di tujuh sekolah di DKI Jakarta. Sekolah-sekolah tersebut terbukti memanipulasi surat perintah jalan (SPJ) dengan kuitansi fiktif dan kecurangan lain dalam SPJ.
Contoh manipulasi antara lain kuitansi percetakan soal ujian sekolah di bengkel AC mobil oleh SDN 012 RSBI Rawamangun. SPJ dana BOS sekolah ini ternyata menggunakan meterai yang belum berlaku. Bahkan lebih parah lagi, BPK tidak menemukan adanya SPJ dana BOS 2008 karena hilang tak tentu rimbanya.
Berdasarkan audit BPK atas pengelolaan dana BOS tahun anggaran 2007 dan semester I 2008 pada 3.237 sekolah sampel di 33 provinsi, ditemukan nilai penyimpangan dana BOS lebih kurang Rp 28 miliar.
Penyimpangan terjadi pada 2.054 atau 63,5 persen dari total sampel sekolah itu. Rata-rata penyimpangan setiap sekolah mencapai Rp 13,6 juta. Penyimpangan dana BOS yang terungkap antara lain dalam bentuk pemberian bantuan transportasi ke luar negeri, biaya sumbangan PGRI, dan insentif guru PNS.
Periode 2004-2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh Indonesia juga berhasil menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana operasional sekolah, termasuk dana BOS. Kerugian negara dari kasus ini lebih kurang Rp 12,8 miliar. Selain itu, sebanyak 33 saksi yang terdiri dari kepsek, kepala dinas pendidikan, dan pegawai dinas pendidikan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Perubahan mekanisme penyaluran dana BOS sesuai dengan mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang keterlibatan birokrasi dan politisi lokal dalam penyaluran dana BOS. Konsekuensinya, sekolah menanggung biaya politik dan birokrasi.
Sekolah harus rela membayar sejumlah uang muka ataupun pemotongan dana sebagai syarat pencairan dana BOS. Kepsek dan guru juga harus loyal pada kepentingan politisi lokal ketika musim pilkada. Dengan demikian, praktik korupsi dana BOS akan semakin marak karena aktor yang terlibat dalam penyaluran semakin banyak.
2. Masih terdapat penyimpangan
a. Tahap perencanaan, adalah dengan menggelembungkan data jumlah siswa. Siswa yang sudah pindah atau lulus tetap dimasukkan dalam daftar penerima dana BOS dengan harapan dana yang diperoleh sekolah bertambah. Modus lainnya dengan mengajukan anggaran belanja fiktif, memperbanyak anggaran tak terduga, menjalin kolusi dengan panitia, membikin belanja barang habis pakai secara berulang-ulang, dobel anggaran, hingga menerima program titipan.
b. Tahap pencairan, kebocoran dana BOS terjadi dengan modus memperlambat pencairan hingga pemberian gratifikasi atau uang terima kasih. Modus-modusnya rapi dan tak kasat mata. Pada tahap pembelanjaan, modus membocorkan dana BOS dengan menurunkan kualitas spesifikasi barang. Pengelola dana BOS telah berkolusi dengan instansi/penyedia barang.
c. Tahap pelaporan, bukan hanya keterlambatan pelaporan. Tetapi juga penyajian laporan meliputi transparansi dan akuntabilitas laporan. Kasus-kasus demikian banyak ditemukan di berbagai daerah ketika pemeriksa/pengawas membandingkan dokumen rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) dengan laporan pertanggungjawaban (LPj). Spesifikasi barang di RKAS dengan LPj banyak yang berbeda. Dampaknya tak hanya kualitas yang tak sesuai standar, tapi ada alokasi dana yang sengaja dihilangkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07/2013, alokasi BOS mulai 1 Januari 2014 adalah sebesar Rp580.000,00 per siswa per tahun untuk SD/SLB, dan sebesar Rp710.000,00 per siswa pertahun untuk SMP/SMPLB/SMPT. Jumlah ini meningkat lagi pada 2015 yaitu Rp800.000,00 untuk SD/SLB, sebesar Rp1.000.000,00 untuk SMP/SMPLB/SMPT, serta sebesar Rp1.200.000,00 untuk SMU per siswa per tahun.
Mekanisme penyalurannya di lingkup sekolah sebenarnya sangat sederhana. Sekolah (dalam tim) mengajukan rencana penggunaan Dana BOS, dan selanjutnya dana BOS disalurkan ke sekolah sesuai rencana penggunaan. Namun, dalam prakteknya masih ditemukan penyimpangan pengalokasian dan BOS.
Diantara modus penyimpangan alokasi dana BOS adalah :
Contoh kasusnya adalah, Periode 2004-2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh Indonesia juga berhasil menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana operasional sekolah, termasuk dana BOS. Kerugian negara dari kasus ini lebih kurang Rp 12,8 miliar. Selain itu, sebanyak 33 saksi yang terdiri dari kepsek, kepala dinas pendidikan, dan pegawai dinas pendidikan telah ditetapkan sebagai tersangka. Perubahan mekanisme penyaluran dana BOS sesuai dengan mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang keterlibatan birokrasi dan politisi lokal dalam penyaluran dana BOS. Konsekuensinya, sekolah menanggung biaya politik dan birokrasi.
Berdasarkan pengamatan awal penulis di lapangan, serta membandingkan banyak berita di media massa. Sementara ini, pihak sekolah mengeluh dengan mekanisme pertanggungjawaban dana BOS, terutama pada level pendidikan dasar (Ibtidaiyah/Tsanawiyah). Mereka memandang mekanismenya terlalu rumit, sehingga kadang mengganggu konsentrasi dalam proses belajar mengajar. Bahkan ada salah satu sekolah yang menolak menerima dana BOS, atau menerima dengan terpaksa karena kesulitan membuat laporan pertanggungjawaban.
Para penanggungjawab sekolah memandang prosedur pelaporan dan pertanggungjawaban dan BOS adalah hal baru yang sulit bagi mereka. Alasan lain adalah, karena pertanggungjawaban BOS adalah mekanisme yang terpisah atau bukan bidang tugas kependidikan atau belajar mengajar. Lalu apakah yang sebenarnya menjadi faktor penyebab fakta penyimpangan dana BOS, dan apa hubungannya dengan pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan, dalam prespektif keuangan negara.
3. Penyebab dan Akibat Masalah
Penyebab timbulnya masalah-masalah dalam program BOS yaitu:
a. Pengalokasian dana tidak didasarkan pada kebutuhan sekolah tapi pada ketersediaan anggaran. Hendaknya pengalokasian dana didasarkan pada kebutuhan sekolah, agar tidak terjadi saling tumpang tindih antara kebutuhan dengan anggaran yang disediakan. Adakalanya sekolah yang kebutuhannya sedikit, dan ada sekolah yang kebutuhannya banyak. Jika anggaran semua sekolah sama, di sekolah yang kebutuhannya sedikit akan memancing timbulnya korupsi karena anggaran yang berlebih, sedangkan di sekolah yang kebutuhannya banyak akan tetap mengalami kekurangan karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
b. Alokasi dana BOS ‘dipukul rata’ untuk semua sekolah di semua daerah, pada tiap sekolah memiliki kebutuhan dan masalah berbeda
c. Korupsi dana pada tingkat pusat (Kemendiknas) terutama berkaitan dengan dana safe guarding.
d. Dinas pendidikan meminta sodokan atau memaksa sekolah untuk membuat pengadaan barang kepada perusahaan tertentu yang sudah ditunjuk dinas.
e. Kepala sekolah menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi melalui penggelapan, mark up, atau mark down.
f. Uang yang dikeluarkan oleh orang tua murid cenderung bertembah mahal walaupun sudah ada dana BOS.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jelas terlihat bahwa didalam implementasinya, fungsi pengawasan sangat kurang. Tidak ada partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses implementasi anggaran di semua tingkat penyelenggara, Kemendiknas, dinas pendidikan, maupun sekolah. Pada tingkat pusat, proses penganggaran pun turut dimonopoli oleh Kemendiknas, akibatnya kepentingan Kemendiknas lah yang lebih terpenuhi, bukan mendahulukan yang perlu.
Penyebab yang lain misalnya pada tingkat penyelenggara (Sekolah dan perguruan tinggi), tidak ada aturan mengenai mekanisme penyusunan anggaran, warga dan stakeholder tidak memiliki akses untuk mendapat informasi mengenai anggaran sehingga mereka tidak bisa melakukan pengawasan. Lembaga pengawasan internal seperti Itjen, Bawasda, Bawasko, pun tidak mampu menjalankan fungsi. Serta pada tingkat sekolah, semua kebijakan baik akademis maupun finansial direncanakan dan dikelola kepala sekolah, dan komite sekolah dibajak oleh kepala sekolah sehingga menjadi kepanjangan tangan kepala sekolah.
Kami berpendapat, cara penyelewengan dana BOS yang paling bisa terjadi adalah melalui setoran awal kepada dinas sebelum dana BOS dicairkan atau didalam sekolah itu sendiri berhubung sekolah tidak melakukan kewajiban mengumumkan APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) pada papan pengumuman sekolah. Selain itu, penyusunan APBS terutama pengelolaan dana bersumber dari BOS kurang melibatkan partisipasi orang tua murid. Akhirnya, kebocoran dana BOS di tingkat sekolah tidak dapat dihindari. Serta dokumen SPJ (Surat Pertanggungjawaban) dana BOS yang kurang atau bahkan tidak dapat diakses oleh publik apabila ada kebutuhan informasi atau kejanggalan dalam pengelolaan dana BOS.
4. Solusi Permasalahan
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dana BOS memang sudah banyak disinyalir di beberapa tempat, namun tentunya juga hal ini tidak bisa digeneralisasikan di semua tempat dan kondisi penyalahgunaan wewenang tersebut terjadi, namun jika dilihat dari segi peluang atau kesempatan, banyak sekali peluang yang bisa digunakan oleh oknum untuk bisa melakukan penyelewengan. Oleh karena itu hal yang paling penting adalah meminimalisir kesempatan dan peluang supaya tidak bisa terjadi dan tidak ada kesempatan oknum untuk keluar dari aturan yang sudah berlaku.
Menghapuskan kebijakan pendidikan yang bersubsidi jelas bukan menjadi solusi, karena memang pada intinya pendidikan adalah kebutuhan primer yang harus terpenuhi, dan juga Undang-Undang kita telah mengamanatkan untuk memberikan layanan gratis untuk pendidikan dasar. Oleh karena itu, penghapusan sama sekali kebijakan BOS bukan merupakan solusi bagi kemelut pengelolaan dana BOS.
Namun, setidaknya ada beberapa langkah yang kemungkinan bisa diambil oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini diantaranya :
a. Peninjauan Kembali Kebijakan
UUD 1945 menyatakan bahwa pendidkan adalah hak bagi semua warga, terlebih pendidikan dasar untuk wajib belajar Sembilan tahun menjadi hak utama bagi warga Negara dan Negara wajib mengusahakan pembiayaannya. Ini menjadi amanat besar dan latar belakang utama kenapa dana BOS hadir dalam proses pendidikan wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah dan tidak semua warga Negara membutuhkan dan harus diberi subsidi untuk pendidikan dasar ini, hal ini terbukti dengan beberapa sekolah yang tidak menerima dana BOS, tapi tetap menjual kualitas kepada customernya.
Peninjauan kembali bukan berarti penghapusan program, tapi pembaharuan design program BOS bisa menjadi solusi. Bisa saja pemerintah mengatur kembali pendanaan untuk sekolah yang sudah maju secara financial dan juga aturan yang khusus untuk warga Negara yang sudah tidak layak untuk mendapatkan subsidi.
b. Dana Berkeadilan
Adil bukan berarti sama rata, bisa saja besaran antara yang satu dengan yang lainnya berbeda, tapi secara teknis dan hakikatnya besaran itu bisa mencukupi serta bisa digunakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu dana yang berkeadilan sudah saatnya diberlakukan untuk pengelolaan subsidi pendidikan. Tidak sepantasnya peserta didik yang orang tuanya mampu secara financial, tapi masuk dan bersekolah di sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga disini dibutuhkan peran serta dari sekolah untuk benar-benar mendata peserta didik yang layak disubsidi.
Jika dana berkeadilan ini benar-benar diterapkan dalam system pengelolaan dana subsidi pendidikan, bisa saja kedepan orang tua akan beranggapan jika dia tergolong kedalam warga yang layak mendapatkan subsidi maka dia harus menyekolahkan anaknya pada sekolah bersubsidi, sedangkan untuk warga yang tidak masuk kedalam kategori layak subsidi menyekolahkan anaknya ke sekolah yang tidak bersubsidi. Sehingga konsentrasi dana akan benar-benar terarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, dan tidak ada kesenjangangn kualitas antara sekolah yang bersubsidi dengan sekolah yang tidak bersubsidi. Namun tentunya dana berkeadilan ini dibutuhkan sifat manusia Indonesia yang baik, tidak mendahulukan ego dalam bertindak dan sadar akan kepentingan umum atau social.
c. Pengwasan yang Efektif dan Efisien
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen atau administrasi. Pengawasan merupakan tindakan yang berfungsi untuk memperhatikan kondisi yang terjadi di lapangan dengan kondisi yang diharapkan dari pembuat kebijakan. Kebijakan subsidi pendidikan yang tertuang dalam program BOS sudah seharusnya mendapatkan pengawasan yang baik dari pemerintah, karena ini merupakan program atau kebijakan pemerintah, sehingga perhatian untuk proses pengawasan pun harus diperhatikan. Selama ini pengawasan yang terjadi pada pengelolaan dana BOS cukup pada tataran pelaporan saja, sedangkan implementasi kenyataan di lapangan masih kurang, pihak pengawas, kantor dinas atau pemerintah, merasa cukup dengan laporan yang ada diatas kertas saja, padahal jika dilihat di lapangan, belum tentu sesuai dengan apa yang ada dalam laporan, sehingga disini benar-benar dibutuhkan pengawasan yang efektif dan efisien untuk menanggulangi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan dana BOS. Pengawsan melekat dan pengefektifan tenaga pengawasan yang ada bisa jadi menjadi solusi bagi pengawasan yang efektif.
d. Pendampingan Dari Ahli Yang Kompeten
Tidak sedikit juga sekolah yang melakukan kesalahan dan penyelewengan tidak dengan sengaja, ada juga factor ketidaktahuan, atau ketidaksengajaan, sehingga oleh oknum-oknum pendidikan diperdaya dan disalahgunakan. Oleh karena itu, pendampingan dari ahli yang kompeten bisa menjadi solusi untuk masalah ini. Ahli yang dimaksud bukan hanya professor atau dosen dari ahli keuangan, tapi minimal orang atau lembaga social yang faham pengelolaan pendidikan, sehingga pemahaman terhadap pengelolaan pendidikan akan menajdi dasar yang kuat bagi teknis pelaksanaan pengelolaan dana BOS. Hal ini dikarenakan di sekolah belum ada tenaga professional yang menangani manajemen sekolah, tenaga yang ada hanyalah lulusan SMA atau bahakan SMP, sedangkan untuk mengelola dana sebesar ini dibutuhkan beberapa kompetensi yang utama, disamping tentunya kompetensi manajerial.
Pendampingan bisa saja dari mahasiswa Administrasi Pendidikan, atau lembaga social lainnya yang bisa ikut mengawal dan menjadi mitra pendamping bagi sekolah. Hal ini bisa saja menekan penyalahgunaan dan ketidak tepatan penggunaan dana BOS di sekolah, terlebih lagi di daerah yang kemampuan guru dan tenaga kependidikan lainnya relatif berbeda dengan sekolah yang sudah lain.
5. Mekanisme pertanggungjawaban
Sistem penganggaran berbasis kinerja menuntut kepatuhan dari hulu ke hilir dari proses perencanaan sampai pertanggungjawaban. Lahirnya kebijakan Dana BOS bukan berarti behentinya permasalahan pendidikan, namun memunculkan masalah baru terkait dengan penyelewengan dana BOS, dan ketidakefektifan pengelolan dana BOS. Tujuan baik pemerintah, tidak diimbangi dengan sistem yang ada , sehingga menjadi bumerang dan menghasilkan masalah baru. Terdapat temuan pengelolaan dana BOS tidak antara lain :
1. Konsumsi UN/UAS (makan & minum). Nilai nominal di RKAS dengan SPJ berbeda), tidak ada daftar hadir penerima konsumsi, kwitansi tidak wajar, tanggal di kwitansi dengan tanggal pelaksanaan tidak sesuai.
2. Biaya praktek ujian renang. Nilai nominal tidak sesuai, les renang 3 juta tidak ada tiket masuk berapa, yang ikut berapa, hanya glondongan saja.
3. Pembelian bahan bangunan. SPJ pada kwitansi nama toko merujuk toko bangunan akan tetapi isi kwitansi (transaksi) berupa foto kopi.
4. Rapat pembelian buku. Daftar hadir kosong dan berita acara tidak ada.
5. Penggandaan naskah soal ujian sekolah. Tanggal penawaran penggandaan soal naskah, penerimaan naskah soal dan pelaksanaan tidak sesuai.
6. Honorarium tenaga honorer. Jumlah penerimaan tidak wajar, honor kepala sekolah, guru dan satpamnya sama.
7. Pembelian rak buku. Kwitansi dari penyedia tidak wajar-toko reklame menyediakan rak buku.
8. Sebagian besar tidak mencantumkan kode mata anggaran, nomor bukti tidak ada, sehingga susah dilacak.
9. Ketidaksesuaian antara buku kas umum dengan bukti pengeluaran.
10. Banyak pengeluaran yang tidak ada kwitansinya.
11. Jumlah anggaran ATK dan FC di RKAS selama 3 bulan sejumlah Rp.39.517.900. ATK dalam PPDB ini mereka banyak membeli kertas HVS, 70gram 10rim, HVS warna, HVS buram 10 rim, padahal itu hanya butuh formulir. Kemudian ada juga fotocopy sampai 2juta.
12. Ada 2 nota dalam sekali pembelanjaan yang dipertanyakan, karena nota lembar pertama total jumlahnya salah, jumlah nota 2 ditulis ke nota 1 begitupun sebaliknya.
13. PPN 10% dari alat tulis ATK dan dicatat dalam nota toko.
14. Dalam nota tidak dilengkapi dengan tanggal.
15. Tanda tangan dalam daftar hadir dipertanyakan.
16. Dimungkinkan manipulasi dalam buku kas umum, karena dalam satu bulan, saldo berbeda, tetapi pengeluaran sama.
17. Dalam juknis menyebutkan, bahwa uang lelah guru yang bertugas di luar jam mengajar hanya menyebut batas kewajaran, tidak ada regulasi tentang batas kewajaran (kasus di bulan April 2012).
18. Dalam juknis disebutkan bahwa BOS boleh diperuntukkan peningkatan profesi guru, sementara di dana APBD juga ada untuk peningkatan profesi guru, dan peningkatan sertifikasi pun ada sendiri.
19. Banyak ditemukan nota gelondongan, tidak ada tanggalnya.
20. Triwulan I: kwitansi No.15 nota pendukung tidak bertanggal, dan nama pembeli
21. Kwitansi No. 16 dan No,17, kwitansi tidak ada materai dan tidak ada nota pendukungnya
22. Pencairan dari Bank tidak masuk dalam buku kas umum
23. Di dalam kas umum ada pinjaman dari keuangan sekolah dan tidak jelas pengembaliannya
24. Saldo di buku kas umum hampir selalu nol.
25. Saldo April 18juta. Tapi bulan Mei ada nota pengeluaran untuk pembayaran pinjaman bulan sebelumnya kwitansi No.3 laporan triwulan II.
26. Pembayaran pajak di bulan Mei atas transaksi di bulan Januari.
27. Bentuk nota dan tulisan sama, tapi stempel berbeda-beda.
28. Daftar hadir siswa komplit/tidak ada yang absen, dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk gurunya.
29. Daftar hadir tidak sesuai dengan periode laporan.
30. Penggelembungan volume (tidak sesuai dengan jumlah peserta. Misal daftar hadir: 30 orang, 2 kali kegiatan, tapi pembelian konsumsinya 139 box itu (23 Oktober).
31. Barang yang dibeli kurang spesifik dituliskan dalam nota.
32. Nota yang tidak lazim: penggandaan LKS Remedial No.6 (triwulan IV) sebesar Rp. 2.311.000,- Penggandaan LKS remedial untuk 40 kali kegiatan dengan seluruh siswa. (biasanya memang untuk semua siswa, sekalian remedial seluruh siswa).
33. Ekstrakurikuler bahasa Inggris dobel honor, satu untuk guru 3 orang, satunya untuk narasumber. Daftar hadirnya 18, honornya 20 kali. Sekali hadir 75 kali.
Temuan-temuan tersebut menjadi fakta bahwa pelaporan dana BOS dianggap tidak akuntabel. Namun, penulis ingin mengambil beberapa contoh dari fakta di atas sebagai berikut :
1. Biaya praktek ujian renang. Nilai nominal tidak sesuai, les renang 3 juta tidak ada tiket masuk berapa, yang ikut berapa, hanya glondongan saja.
2. Pembelian bahan bangunan. SPJ pada kwitansi nama toko merujuk toko bangunan akan tetapi isi kwitansi (transaksi) berupa foto kopi.
3. Rapat pembelian buku. Daftar hadir kosong dan berita acara tidak ada.
4. Terkait dengan pelaporan pajak, dan lain-lain
Pertanyaannya adalah mengapa kesalahan tersebut bisa terjadi. Apakah kesengajaan, ketidaktahuan, atau motif lain yang belum terungkap ?
Namun, terlepas dari kekeliruan sistem atau kualitas sumber daya manusianya, temuan tersebut akan mempengaruhi proses berikutnya, yaitu pelaporan dan pertanggungjawaban. Penanggungjawab dana BOS di level provinsi berkewajiban membuat laporan realisasi penyaluran pada setiap akhir periode. Dengan deretan penyimpangan sebagaimana disampaikan di atas, mengakibatkan seringnya terjadi keterlambatan penyajian laporan.
Di sisi lain, penanggungjawab dana BOS juga harus merujuk pada Undang-undang No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 21(1) menerangkan bahwa Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang/jasa diterima. Akibat yang terjadi dalam prakteknya, dana BOS baru dicairkan oleh Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran setelah pihak sekolah menyiapkan seluruh bukti-bukti pengeluaran sesuai Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS). Ini artinya, sebelum dana BOS diterima oleh pihak sekolah, harus sudah terdapat pengeluaran/bukti pengeluaran. Alur pelaporan keuangan penulis gambarkan seperti bagan di bawah ini, untuk menunjukkan dampak penyimpangan dana BOS terhadap penyajian laporan keuangan.
Dapat pula diihtisarkan bahwa, bila terjadi penyimpangan/temuan seperti di atas maka berakibat tertundanya pencairan dana BOS berikutnya. Ini artinya, akan terjadi penumpukan realisasi di akhir tahun, yang berdampak pelaporan/pertanggungjawaban tidak akuntabel.
6. Alternatif Pemecahan Masalah
Sesuai Pasal 1 UU 15 tahun 2004 dijelaskan bahwa Tanggung Jawab Keuangan Negara merupakan kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Akuntabilitas publik merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas segala bentuk aktivitas yang dilakukan oleh seseorang pemegang kuasa terhadap orang atau badan yang meminta pertanggungjawaban tersebut. Akuntabilitas ini dilakukan sebagai bentuk transparansi dari kegiatan operasional suatu instansi.
Namun demikian terdapat beberapa dimensi dalam akuntabilitas publik. Dikemukakan oleh Hapwood dan Tomkins juga Elwood yang diterjemahkan oleh Mahmudi dalam bukunya ”Manajemen Sektor Publik”, bahwa: ”Dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh lembaga-lembaga publik tersebut antara lain:
1. Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran
2. Akuntabilitas Manajerial
3. Akuntabilitas Program
4. Akuntabilitas Kebijakan
5. Akuntabilitas Finansial” (2005:10)
Maka pertanyaannya, dalam dimensi manakah pihak sekolah sebagai pengelola dana BOS. Karena masing-masing dimensi menuntut pertanggungjawaban yang berbeda. Menjadi ironi bila pemerintah bermaksud memberikan kontra prestasi langsung kepada masyarakat di satu sisi. Di sisi lain, masyarakat yang terlibat (dalam hal ini penanggungjawab BOS Sekolah) tidak dapat melakukannya dengan sempurna. Mungkin masyarakat penyandang BOS telah melaksanakan amanah dengan nyata (dimensi kejujuran dan program), tetapi tidak memenuhi akuntabilitas Finansial.
Apakah pemerintah tidak khawatir dengan fenomena beberapa sekolah yang “ketakutan” untuk menerima dana BOS. Karena faktanya di sekolah terpencil atau madrasah, hanya ada seorang kepala sekolah dan seorang tenaga terampil yang merangkap tugas guru. Yang dari sisi jumlah personil saja tidak memadai, bagaimana pula dengan pengembangan sumber daya manusia untuk kegiatan pengelolaan dana BOS.
Seyogyanya dapat diambil dua kebijakan menjadi titik temu. Dari pihak sekolah misalnya, perlu penyempurnaan pengaturan yaitu transparansi RKAS, dengan kewajiban mengumumkannya secara terbuka. Ini akan memicu “rasa” tanggung jawab dari penyandang Dana BOS. Pengawasan dari masyarakat, menurut hemat penulis dewasa ini lebih bermanfaat mendidik daripada pengawasan dari aparat pengawas pemerintah.
Dari sisi Kuasa Bendahara Umum Negara, pertanggungjawaban dana BOS cukup sederhana. Pelaporan penyaluran dengan penjelasan jumlah yang disalurkan dan penerimanya. Bila lebih disetor ke Kas Negara. Bila kurang, pemerintah telah menyiapkan dana cadangan untuk itu. Nampaknya perlu dibuat penyederhanaan pertanggungjawaban dana BOS di tingkat Kuasa Pengguna Anggaran. Bayangkan bila 50 madrasah di Bali menolak menerima dana BOS, maka bukan hanya terjadi penyerapan anggaran yang tidak optimal. Tetapi juga tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa berada dalam masalah.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam sebuah sistem, semua komponen pasti terkait. Perlu ketelitian dalam membuat kebijakan yang memiliki dampak langsung terhadap sistem. Dana BOS menjadi pembicaraan seru pada lembaga-lembaga pendidikan, serta insan yang terkait. Kita tidak bisa memandang bahwa Dana BOS hanya masalah yang terkait dengan sekolah atau pendidikan. Faktanya, proses penyalurannya memberi dampak terhadap laporan keuangan pemerintah.
Kedepan perlu dirancang pengaturan yang bersinergi, tujuan mencerdaskan bangsa terwujud, pelaporan keuangan lebih akurat dan akuntabel.
Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Pendidikan juga memegang peran penting dalam pembangunan, sehingga kemajua pendidikan sangat dibutuhkan bagi suatu bangsa yang ingin menuju kemajuan. Untuk kemajuan pendidikan, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dari berbagai elemen bangsa terutama pemerintah. Dalam UUD 1945, dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setap warga Negara, dan untuk program wajib belajar pendidikan dasar, pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan pendanaannya. Selain itu, Perkembangan pendanaan pemerintah melalui APBN mengalami perkembangan, pengurangan subsidi untuk BBM mempengaruhi besaran subsidi untuk bidang lainnya, begitu juga dengan pendidikan, salah satu hasinya yaitu adanya pendanaan Bantuan Operasioanl Sekolah (BOS) dalam pendidikan.
Mekanisme pencairan BOS pada awalnya berasal dari pusat, tapi sejak pertengahan 2010 dana BOS ditransfer ke pemerintah daerah yang akan menjadi sumber APBD. Shingga saat ini sekolah-sekolah tidak menerima langsung dari rekening pusat, tapi bersumber pada APBD. Penggunaan dana BOS diperuntukan bagi seluruh biaya operasional ruti sekolah, sedangkan untuk biaya pembangunan tidak berasal dari BOS.
Penyalahgunaan pengelolaan dana BOS banyak ditemukan di beberapa daerah, kasus yang paling sering adalah penggelembungan jumlah siswa, penyalahgunan dana, dan bahkan data dan pelaporan fiktif sering menghiasi surat kabar tentang penyelewengan dana BOS. Hal ini bisa juga dipicu oleh system yang berjalan, lemahnya pengawasan dan partisipasi public yang kurang, sehingga menyebabkan tujuan dari adanya subsidi BOS sendiri menjadi kurang dan cenderung berkurang kebermanfaataannya.
Untuk itu diperlukan tindakan preventif dari setiap lembaga dan elemen dari bangsa ini untuk kemajuan dan pengefektifan pengelolaan dana BOS. Diantaranya solusi yang kami tawarkan adalah kembali mengkaji kebijakan yang sudah ditetapkan, karena satu kebijakan tidak mungkin langsung cocok pada tataran implemntasi. Selain itu, kebijakan dana berkeadilan juga bisa menjadi salah satu solusi dari permasalahan, karena kondisi orang tua dan siswa serta sekolah tidak semua sama, sehingga yang mendapatan subsidi adalah orang-orang yang benar-benar layak mendapatkan subsidi. Pengawasan yang lebih efektif dan efisien juga mendukung pencapaian tujuan dana BOS. Solusi lain yang bisa dicoba adalah pendampingan oleh ahli yang kompeten bisa mempermudah pengelolaan dan efektifitas penggunaan dana BOS, mahasiswa Administrasi Pendidikan, serta ahli dalam bidang manajerial pendidikan bisa menjadi pendamping utama dan ikut membantu dalam mengarahkan, hal ini dikarenakan kurangnya tenaga profesioanal terkait administrasi dan manajemen sekolah yang ada di sekolah.
B. SARAN
Dari pemaparan makalah kami ini kami bisa sedikit memberikan saran kepada bebrpa pihak, baik pemabaca, pelaku pendidikan, ataupun pelaksana teknis pendidikan, diantaranya :
1. Para stakeholder pendidikan (guru, kepala sekolah, siswa, orang tua murid, masyarakat) harus ikut mengawasi dan berpartisipasi aktif dalam proses pengelolaan dan BOS. Hal ini akan sangat berpengaruh kepada efektifitas penggunaan dan BOS.
2. Para pelaku pendidikan atau pihak lembaga pendidikan untuk bisa kooperatif dan terbuka, asas tranparansi dan akuntabilitas harus dijadikan patokan dalam pengelolaan dana BOS
3. Kepada pemangku kebijakan untuk tetap mengkaji dan mengevaluasi kbijakan yang dikeluarkan, termasuk efektifitas pengelolaan dana BOS.
DAFTAR PUSTAKA
http://abdurrahimalmunkaribi.blogspot.co.id/2012/06/akuntabilitas-dan-transparansi-sebagai.html
http://gronald-ronald.blogspot.co.id/2011/06/manajemen-kompensasi-sektor-publik.html
http://awasibos.org/liputan/biaya-pendidikan-dana-bos-bocor-dengan-berbagai-modus/
http://awasibos.org/kabar/darurat-revisi-kebijakan-bos/
http://www.arifin-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/03/makalah-permasalahan-pengelolaan-dana.html
http://www.tenagasosial.com/2014/05/makalah-konsep-akuntabilitas-dan.html
http://ruthriridaputri.blogspot.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar